Rabu, 30 September 2009

Malu Menantang Malaysia

 
Pesawat Nomad CN22 milik TNI AL jatuh di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur Senin kemarin. Peristiwa ini menjadi torehan baru catatan kelamnya nasib korps bersenjata bangsa ini.

Sebelumnya sejumlah insiden pesawat TNI jatuh dan memakan korban jiwa tejadi di tahun 2009. Di antaranya kecelakaan Fokker 27 milik TNI AU di Bandung, Hercules di Magetan, kecelakaan heli Bolkow TNI AD di Cianjur, dan kecelakaan Helikopter Puma di Atang Sanjaya Bogor kemudian yang terakhir adalah peristiwa insiden pesawat Nomad di Bulungan.

Kesimpulan yang mencuat adalah kecelakaan sangat erat kaitannya dengan usia pesawat yang uzur dan minim perawatan.
Kondisi itu tentu tidak sejalan dengan ambisi sebagian komponen bangsa yang saat ini sedang semangat-semangatnya teriak 'ganyang Malaysia' karena sejumlah persoalan klaim provokatif seni budaya dan teritorial.

Aksi-aksi mengecam Malaysia berkembang tidak hanya dilakukan dengan orasi dan teaterikal. Replika bendera Malaysia menjadi objek pembakaran sebagai simbol protes keras terhadap negeri para datuk itu. Kemudian ada yang mengklaim siap memberangkatkan relawan untuk berperang ke Malaysia.

Kegemasan terhadap Malaysia di Indonesia tidak hanya merebak di kalangan masyarakat. Bupati Sukoharjo Bambang Riyanto pun terang-terangan berani memimpin aksi yang juga diwarnai pembakaran bendera Malaysia.

Lalu yang cukup ekstrem tentu adalah aksi sweeping warga Malaysia di depan markas Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) di Jalan Diponegoro 58, siang tadi.

Berperang dengan Malaysia? Tentu keinginan itu masih jauh dari kenyataan. Hubungan Pemerintah RI-Malaysia sejauh ini masih cukup baik. Kedua pemerintah bisa meredam situasi dan tidak lantas mengeluarkan pernyataan yang dapat menyulut emosi masyarakat kedua negara.

Keinginan berperang dengan Malaysia sebenarnya memang harus dilakukan. Perang yang dimaksud tentu dalam hal berkompetisi untuk membuktikan keunggulan negara masing-masing memiliki prestasi.

Prestasi budaya, pendidikan,teknologi, ekonomi, dan yang tak kalah penting prestasi membabat habis korupsi di pemerintahan. Kompetisi dalam konteks yang demikianlah yang seharusnya diletakkan sebagai arti berperang terhadap Malaysia.

Sebab meskipun kita mempunyai alasan kuat untuk berperang dengan mengangkat senjata, toh sepertinya kita masih perlu berhitung seribu kali. Meski berani taruhan, personel militer Indonesia 1.000 kali lebih gagah berani dibanding militer Malaysia, tapi rasanya menantang Malaysia berperang saat ini tak ubah seperti kita mengacungkan pistol mainan ke barisan tentara bersenjata.Bukan membuat takut, nanti yang ada hanya menjadi bahan tertawaan.Kalau sudah begitu siapa yang malu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar