Rabu, 30 September 2009

Setelah Pendet Besok Apa lagi ?

 
KETIKA bangsa Indonesia masih dilanda kecemasan akibat teror bom, juga disaat aparat kepolisian dengan Densus 88 Antiterornya gencar memburu teroris paling dicari Noordin M Top yang asal Malaysia itu, ironi kebudayaan kembali terjadi. Panggung warisan kebudayaan nasional pun terusik.

Kali ini giliran seni kebanggan orang Bali, tari pendet diklaim sebagai kekayaan budaya negeri jiran itu. Dalam cuplikan iklan Visit  Malaysian Year yang ditayangkan Discovery Channel, terdapat adengan para penari tengah membawakan tarian pendet. Tak ayal iklan ini berbuah protes dari Pemerintah Indonesia. Di dunia maya pun, isu ini menjadi topik terpanas.

Peristiwa tersebut kian memperpanjang deretan polemik di antara dua bangsa serumpun itu. Jalinan keduanya selalu dihadapkan pada situasi panas-dingin. Sebelumnya, sengketa batas wilayah atau konflik tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di negara bekas jajahan Inggris ini terus mewarnai hubungan kedua negara bertetangga tersebut sepanjang masa.

Wajar jika rakyat Indonesia marah dan protes terhadap Malaysia dengan insiden iklan tarian pendet itu, apapun alasannya. Pemerintah Indonesia bahkan siap menuntut Malaysia jika tidak digubris. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik sudah melayangkan nota protes atas dugaan klaim tari pendet.

Sementara itu perwakilan Malaysia berdalih tidak pernah mengklaim tari pendet menjadi bagian dari budayanya. Malaysia mengaku yang terjadi selama ini hanya salah paham. Apa benar itu semata kesalahpahaman, atau memang ada motif lain? Apakah Malaysia terlalu bodoh mengklaim tari pendet yang semua orang tahu asalnya dari Bali sebagai budaya mereka?

"Tidak ada klaim dari Pemerintah Malaysia atas tarian tersebut,"  tegas Amran Mohammad Zein, perwakilan kuasa usaha sementara Kedutaan Besar Malaysia, saat menemui Menbudpar Jero Wacik di Jakarta.

Sebenarnya, isu klaim budaya Indonesia oleh Malaysia termasuk tari pendet ini sudah terjadi sejak tahun 2007. Saat itu lagu "Indang Sungai Garinggiang" ciptaan Tiar Ramon dari Minangkabau digunakan oleh delegasi kesenian Malaysia pada Asia Festival 2007 di Osaka. Kemudian lagu "Rasa Sayange" asal Maluku digunakan untuk jingle Visit Malaysia 2007. Menyusul, reog Ponorogo di website pariwisata Malaysia yang diklaimnya sebagai sisingaan, tari barong yang disebut di Malaysia sebagai barongan, keris, angklung, batik, serta lagu "Es Lilin" dari bumi Priangan.

Kenapa begitu mudahnya bangsa lain menyomot kekayaan budaya Indonesia? Dalam pandangan pengamat hukum internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jawahir Thantowi, pemerintah sejauh ini tidak pernah menghargai kekayaan intelektual sehingga negara lain begitu gampang mengklaim bahkan mempatenkannya.

Menurutnya, Indonesia termasuk negara yang tidak memiliki kesadaran tinggi atas hak-hak intelektual, dan negara tetangga lebih memiliki kesadaran itu. "Jadi, bukan sesuatu yang aneh jika negara lain mengklaim dan mempatenkannya," terang Jawahir yang juga melihat pemerintah tidak mau mengambil pelajaran dari sejumlah klaim yang dilakukan oleh negara lain.

Sebab itu, harus ada hukum untuk memberikan proteksi terhadap hak-hak adat yang ada di ranah bangsa. "Ini sama halnya dengan tanah, jika tidak dibuat sertifikatnya, maka akan diklaim oleh pihak lain, apa bedanya. Padahal kita kan tahu hal itu, tapi kenapa tidak belajar dari situ?" ungkap Jawahir.

Boleh jadi Malaysia memang cerdik memanfaatkan budaya tetangganya demi kepentingan komersil-mempromosikan idustri pariwisatanya, sedangkan Indonesia hanya bisa marah dan protes karena pihak lain yang menangguk untung. Namun sebenarnya, menghargai budaya itu bukan caranya seperti apa yang ditempuh Malaysia. Komersialisasi budaya justru akan menggerus keaslian, keluhuran, dan kearifan dari budaya itu sendiri.

Dalam kasus ini, Indonesia terkesan terlalu emosional menanggapinya. Kalau boleh  jujur, apa yang sudah kita lakukan untuk meyelamatkan budaya sendiri yang mulai kehilangan tempat, terjajah dengan membanjirnya film asing, sinetron, atau tanyangan olah raga yang heboh, sebab lebih menjanjikan rupiah.

Menghargai budaya adalah melestarikan eksistensinya dan dimanfaatkan untuk kemajuan bersama tanpa harus merampas kemurnian dari nilai khas yang terkandung di dalamnya. Meski diakui memelihara suatu budaya bukanlah pekerjaan mudah, tapi komitmen kuat dari semua pihak mutlak dibutuhkan. Tengok saja, sudah berapa banyak seni, budaya, atau bahasa di negeri ini yang mulai dan sudah punah.

Jadi tak sekadar mengakui saja, tapi harus memberi ruang hidup bagi seni dan budaya warisan leluhur dalam berbagai momentum resmi atau tidak, agar mampu bertahan dalam putaran roda zaman. Konkretnya, ada semacam observasi, pengembangan, pemanfaatan baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun kultur sehingga muncul pengakuan dan pada akhirnya ada semangat pelestarian.

Kita juga seyogianya berkaca dari sikap Malaysia yang bisa dibilang tidak tahu malu, tapi toh mereka tetap cuek. Akan terus mencuri budaya yang ada di sekitar sebagai upaya untuk mewujudkan mimpi besarnya, Malaysia is a Truly Asia. Mereka mengumpulkan potongan-potongan produk kebudayaan bangsa di Asia untuk menciptakan Malaysia adalah miniatur Asia. Jadi setelah pendet, besok apalagi? Akankan kita kecolongan lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar